Friday 4 March 2016

Trust is like an eraser. It gets smaller and smaller after every mistakes.

Senja yang dingin. Masih teringat jelas bagaimana pagi tadi aku mengusir lelaki itu dari rumahku. Dia benar-benar tak mau pergi hingga aku menutup dan mengunci pintu rumah tanpa memperdulikan dia yang masih berdiri memohon di depan pintu.
Dio. Ya. Lelaki yang pernah aku cintai dengan sangat. Yang pernah membuat aku berjuang melawan semua emosi dan ego hanya agar aku tetap bisa bersama dia. Aku berusaha menutup mata dan telinga dari ucapan-ucapan miring orang-orang tentang dia. Aku tak pernah percaya dia tak setia.
Kami memang terpisah jarak. Hanya sesekali kami bertemu. Tapi aku benar mempercayainya. Sangat.
Tapi semuanya musnah saat aku tahu dia berbohong. Aku mulai berisik selalu menanyai ini itu kepadanya. Dia pun mulai sebal dengan semua ocehanku. Tanpa ba bi bu, dia justru pergi begitu saja. Hilang bagai ditelan bumi. Semua kontak tak bisa dihubungi. Bahkan semua temannya yang ku tanya tak ada yang mau memberi tahu. Aku cari tak pernah ketemu.
Aku jatuh. Sakit. Pasti. Berhari-hari. Bahkan berminggu-minggu. Air mata tak henti mengalir tiap mengingatnya. Tapi aku tahu, aku harus bangkit. Aku harus jadi lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya, bersama dia dulu aku belajar caranya bersabar meredam ego.
Terimakasih telah meninggalkanku hingga aku menjadi jauh lebih baik dan kuat.
Kini, kau kembali. Mencariku. Berkata akulah wanita yang paling sabar menemani selama masa gilamu, masa berantakannya hidupmu. Kau ingin memperbaiki kembali segalanya. Namun maaf. Aku bukan aku yang dulu lagi.
Semua yang kau perlukan hanyalah tetap tinggal, tak pernah pergi meninggalkanku. Kini, rasa percayaku padamu sudah tak ada. Pergilah. Aku sudah jauh lebih bahagia dengan diriku sekarang.
Tanpa kamu.

No comments:

Post a Comment